Translate

Tuesday, January 27, 2015

Menolak amanah, bolehkah ?

Siklus hidup manusia, saat satu mati akan tumbuh seribu. Saat satu amanah terlewati pasti akan ada amanah yang lainnya. Dari amanah pertama kita akan ada banyak pihak yang menilai dan menjadikannya sebagai tolak ukur untuk memberikan amanah yang lainnya, amanah yang berikutnya, dan amanah yang seterusnya. Tanpa ada tawar menawar, pun diskusi atau musyawarah. Amanah itu datang secara tiba-tiba, tak ada waktu untuk berfikir menolaknya. Karena amanah itu ujian dan ujian pula yang akan mengukur batas kemampuan kita. Kalau sudah di ujung batasnya, lantas apa ? jelas kita tak bisa menyerah, karena amanah itu bukan lagi urusan kita dengan dia, atau urusan kita dengan mereka. Namun urusan kita dengan-Nya. Dengan Allah !

Masih segar dalam ingatan saat dulu pertama kali menginjak yang namanya dunia perkuliahan. Sama sekali merasa tak ada satu orangpun yang berusaha menarik ke dunia yang sekarang banyak ulya geluti ini. Tapi amat sangat bersyukur karena justru Allah-lah yang secara langsung memberi hidayah untuk menuju jalan ini. Ya, pada awal perkuliahan belum merasakan yang namanya ‘amanah tak pernah salah memilih pundak’. Itulah siklus hidup manusia. Terkadang kita perlu mencari dengan tekad kita sendiri, sehingga saat kita mendapatkannya kita bisa jauh lebih bisa menghargai apa yang kita punya.

Bisa dibilang, hidup ulya sudah kelewat enak. Kok gitu ? kaya sombong banget ya. Engga, bukan bermaksud sombong, tapi memang merasa kalau ulya sudah terlalu beruntung. Tapi bersama kesulitan ada kemudahan, pun sebaliknya. Keduanya perlu erat melekat agar hidup manusia mampu berjalan seimbang seperti seharusnya. Iya, terlalu enak. Ulya ada dalam keluarga yang ‘settle’ dari segi pendidikan islami nya, dimana kedua orang tua juga sangat baik pemahamannya dalam islam. Sejak TK sudah disekolahkan dalam pendidikan formal yang kental dalam hal pendidikan islaminya. Pun sampai tingkat menengah atas juga ngga jauh beda. Sekolah Islam Terpadu dari SD sampai SMA. Gimana ngga enak tuh.. malu rasanya saat sudah ada sekian banyak ilmu agama yang dipunyai, dan ternyata begitu ke dunia perkuliahan baru menyadari bahwa ilmu itu belum seberapa. Dari yang belum seberapa itu belum banyak memberi manfaat, baik buat diri sendiri apalagi orang lain.

bersama so sweet :)
Selangkah demi selangkah sudah dilalui. Setelah Allah membukakan jalan ini semakin bahagia rasanya. Karena merasa menjadi orang yang beruntung karena berada dalam barisan ini. Pada kenyataannya ngga bayak orang yang terdidik dengan baik dari segi pendidikan islaminya bisa selamat sentosa samapai ke jalan ini. Itulah kenapa ulya secara pribadi harus selalu bersyukur. Karena belum tentu bisa kuat jika bukan dalam barisan. Setelah itu, amanah datang dan melatih kapasitas diri. Amanah satu selesai, dilanjut amanah kedua, dan seterusnya. Amanah yang sebenarnya juga sebuah kewajiban dalam hal berdakwah. Semakin dirasa, ada pahitnya adapula manisnya. Tapi jalan kebenaran tak selamanya indah kan ? ada ujian yang datang menghadang, ada perangkap menunggu mangsa.

Istilah, ‘amanah tak pernah salah memilih pundak’ terkadang menguatkan namun ada kalanya juga membuat kita menjadi galau. Ya, karena saat kita telah menerima suatu amanah dengan berpegang pada istilah ‘amanah tak pernah salah memililih pundak’, tiba-tiba datang amanah lain yang kita tolak. Jadi, masihkah benar istilah ‘amanah tak pernah salah memilih pundak’ ? Rasanya ngga enak ya nolak amanah itu. Sebenarnya ngga masalah sih mau nolak apa engga, karena kan yang tau batas kemampuan kita ya diri kita sendiri. Nah, trus gimana kalau orang itu belum benar-benar memahami batas kemampuan dirinya ? belum tau sebenarnya dia bisa apa engga. ‘Yaudah dicoba aja dulu, kan ga ada salahnya mencoba..’ tapi pantaskah amanah itu dicoba-coba ? sedangkan itu menjadi pertanggung jawaban kita kelak dihadapan-Nya.

Ciye, galau nih.. mau nolak salah, nerima juga belum tentu bener.

Intinya sih, tanyakan sama MR. Minta pertimbangan orang lain kalo perlu banyak orang, yang kita rasa sudah mengenal diri kita dengan baik. Terkadang mereka justru lebih mampu melihat potensi diri kita yang masih tersembunyi. Kalo udah dapet jawaban, pikirkan lagi matang-matang. Kalau perlu istikharah.. karena memang benar kalau ‘amanah tak pernah salah memilih pundak’. Laa yukallifullaha nafsan illa wush ‘aha, Allah tidak membebankan kepada seseorang melebihi batas kemampuannya. Saat kita rasa amanah itu melebihi batas kemampuan kita, itu belum mencapai batas kemampuan kita yang sesungguhnya. Yang lebih tau ya Allah saja. Jadi jangan merasa diri tidak mampu, jangan merasa inilah batas kemampuan kita. Justru dengan amanah lah kita diukur, seberapa besar usaha kita untuk mencapai batas maksimal kita. Apa yang kita fikirkan, apa yang kita prasangka-kan, itulah hasilnya. Itulah jawabannya. Jadi jangan salahkan kepada siapa-siapa jika amanah itu tak berjalan dengan mulus, amanah itu tak terpegang dengan baik. Karena jelas sudah siapa yang menjadi pemegang tanggung jawab terbesar dari sebuah amanah. Ya, diri kita sendiri.

Itulah salah satu alasan, mengapa manusia tergolong sebagai makhluk sosial dimana tidak bisa hidup sendiri dan membutuhkan orang lain untuk menjalani hidupnya. Bisa mbayangin kalo kita hidup sendiri tanpa ada orang lain ? kalo ulya, engga.. :)

Yogyakarta, 27 januari 2015
@my lovely bedroom

3 comments: