Nama adalah do’a dari kedua orang tua untuk
anaknya. Setiap orang tua memiliki pesan dan pengharapan rahasia yang tercantum
sepanjang hayat dalam nama yang ada didiri anaknya. Sebuah nama tentu memiliki sejarahnya
masing-masing. Sejak sekian lama saya baru-baru ini mengetahui arti dari nama
yang diberikan oleh ummi dan abi saya. Rumaisha Nur Ulya, rumaisha berarti yang
mendamaikan hati, nur artinya cahaya, dan ‘ulya memiliki makna yang Tinggi di
sisi Allah. Jadi jika digabungkan nama saya memiliki arti, Cahaya Tinggi yang
Mendamaikan Hati.
Yang paling membuat saya
penasaran adalah makna dan sejarah dibalik nama Rumaisha itu sendiri. Berikut
adalah kisahnya. Rumaisha adalah salah seorang shahabiyah Rasulullah SAW.Untuk
lengkapnya begini ceritanya:Ia seorang wanita keturunan bangsawan dari kabilah
Anshar suku Khazraj memiliki sifat keibuan dan berwajah manis menawan. Selain
itu ia juga berotak cerdas penuh kehati-hatian dalam bersikap, dewasa dan
berakhlak mulia, sehingga dengan sifat-sifatnya yang istimewa itulah pamannya
yang bernama Malik bin Nadhar melirik dan mempersuntingnya. Rumaisha Ummu
Sulaim binti Milhan bin Khalid bin Zaid bin Malik adalah satu dari wanita
saliha yang memiliki kedudukan istimewa di mata Rasulullah.
Pada saat Rasululllah
menyerukan dakwah menuju tauhid, tanpa keraguan lagi Ummu Sulaim langsung
memeluk agama Islam, dan tidak peduli akan gangguan dan rintangan yang kelak
akan dihadapinya dari masyarakat jahili paganis.
Namun suaminya, Malik bin
Nadhir sangat marah saat mengetahui istrinya telah masuk Islam. Dengan dada
gemuruh karena emosi, ia berkata pada Ummu Sulaim: "Engkau kini telah
terperangkap dalam kemurtadan!"
"Saya tidak murtad.
Justru saya kini telah beriman," jawab Ummu Sulaim dengan mantap. Dan
kesungguhan Ummu Sulaim memeluk agama Allah tidak hanya sampai di situ. Ia juga
tanpa bosan berusaha melatih anaknya, Anas, yang masih kecil untuk mengucapkan
dua kalimat syahadat.
Melihat kesungguhan istrinya
serta pendiriannya yang tak mungkin tergoyahkan membuat Malik bin Nadhir bosan
dan tak mampu mengendalikan amarahnya. Hingga ia kemudian bertekad untuk
meninggalkan rumah dan tidak akan kembali sampai istrinya mau kembali kepada
agama nenek moyang mereka. Ia pun pergi dengan wajah suram. Sayangnya, di
tengah jalan ia bertemu dengan musuhnya, kemudian ia dibunuh. Saat mendengar
kabar kematian suaminya dengan ketabahan yang mengagumkan ia berkata,
"Saya akan tetap menyusui Anas sampai ia tak mau menyusu lagi, dan
sekali-kali saya tak ingin menikah lagi sampai Anas menyuruhku."
Setelah Anas agak besar, Ummu
Sulaim dengan malu-malu mendatangi Rasulullah dan meminta agar beliau bersedia
menerima Anas sebagai pembantunya. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam pun
menerima Anas dengan rasa gembira. Dan dari semua keputusannya itu, Ummu Sualim
kemudian banyak dibicarakan orang dengan rasa kagum.
Dan seorang bangsawan bernama
Abu Thalhah tak luput memperhatikan hal itu. Dengan rasa cinta dan kagum yang
tak dapat disembunyikan tanpa banyak pertimbangan ia langsung melangkahkan
kakinya ke rumah Ummu Sulaim untuk melamarnya dan menawarkan mahar yang mahal.
Namun di luar dugaan, jawaban Ummu Sulaim membuat lidahnya menjadi kelu dan
rasa kecewanya begitu menyesakkan dada, meski Ummu Sulaim berkata dengan sopan
dan rasa hormat,
"Tidak selayaknya saya
menikah dengan seorang musyrik, ketahuilah wahai Abu Thalhah bahwa sesembahanmu
selama ini hanyalah sebuah patung yang dipahat oleh keluarga fulan. Dan apabila
engkau mau menyulutnya api niscaya akan membakar dan menghanguskan
patung-patung itu."
Perkataan Ummu Sulaim amat
telak menghantam dadanya. Abu Thalhah tak percaya dengan apa yang ia lihat dan
ia dengar. Namun itu semua merupakan realita yang harus ia terima. Abu Thalhah
bukanlah orang yang cepat putus asa. Dikarenakan cintanya yang tulus dan
mendalam terhadap Ummu Sulaim, di lain kesempatan ia datang lagi menjumpai
ibunda Anas dan mengiming-iming mahar yang lebih wah serta kehidupan kelas
atas. Sekali lagi, Ummu Sulaim muslimah yag cerdik dan pintar ini tetap teguh
dengan keimanannya. Sedikit pun ia tidak tergoda oleh kenikmatan dunia yag
dijanjikan oleh Abu Thalhah. Baginya kenikmatan Islam akan lebih langgeng
daripada seluruh kenikmatan dunia. Masih dengan penolakanya yang halus ia
menjawab, "Sesungguhnya saya tidak pantas menolak orang yang seperti
engkau, wahai Abu Thalhah. Hanya sayang engkau seorang kafir dan saya seorang
muslimah. Maka tak pantas bagiku menikah denganmu. Coba Anda tebak apa
keinginan saya?"
"Engkau menginginkan
dinar dan kenikmatan," kata Abu Thalhah. "Sedikitpun saya tidak
menginginkan dinar dan kenikmatan. Yang saya inginkan hanya engkau segera
memeluk agama Islam," tukas Ummu Sualim tandas. "Tetapi saya tidak
mengerti siapa yang akan menjadi pembimbingku?" Tanya Abu Thalhah.
"tentu saja pembimbingmu adalah Rasululah sendiri," tegas Ummu
Sulaim. Maka Abu Thalhah pun bergegas pergi menjumpai Rasulullah shollallahu
‘alaihi wa sallam yang mana saat itu tengah duduk bersama para sahabatnya.
Melihat kedatangan Abu Thalhah, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam
berseru, "Abu Thalhah telah datang kepada kalian, dan cahaya Islam tampak
pada kedua bola matanya."
Ketulusan hati Ummu Sulaim
benar-benar terasa mengharukan relung-relung hati Abu Thalhah. Ummu Sulaim
hanya akan mau dinikahi dengan keislamannya tanpa sedikitpun tegiur oleh
kenikmatan yang dia janjikan. Wanita mana lagi yang lebih pantas menjadi istri
dan ibu asuh anak-anaknya selain Ummu Sulaim? Hinnga tanpa terasa di hadapan
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam lisan Abu Thalhah basah
mengulang-ulang kalimat, "Saya mengikuti ajaran Anda, wahai Rasulullah.
Saya bersaksi, bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah dan
saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusanNya." Ummu Sulaim tersenyum haru
dan berpaling kepada anaknya Anas, "Bangunlah wahai Anas."
Menikahlah Ummu Sulaim dengan
Abu Thalhah, sedangkan maharnya adalah keislaman suaminya. Hingga Tsabit
–seorang perawi hadits- meriwayatkan dari Anas, "Sama sekali aku belum
pernah mendengar seorang wanita yang maharnya lebih mulia dari Ummu Sulaim,
yaitu keislaman suaminya." Selanjutnya mereka menjalani kehidupan rumah
tangga yang damai dan sejahtera dalam naungan cahaya Islam.
Abu Thalhah sendiri adalah
seorang konglomerat nomor satu dari kabilah Anshar. Dan harta yang paling dia
cintai yaitu tanah perkebunan "Bairuha". Tanah perkebunan itu
letaknya persis menghadap masjid. Dan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam
sendiri pernah minum air segar yang ada di lokasi itu, sampai kemudian turun ayat
yang berbunyi:
"Sekali-kali belum sampai
pada kebaktian yang sempurna sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu
cintai." (Ali Imran:92) Mendengar ayat ini, kontan Abu Thalhah menghadap
Rasulullah. Setelah membacakan ayat tadi Abu Thalhah melanjutkan, "Dan
sesungguhnya harta yang paling saya cintai adalah tanah perkebunan Bairuha.
Saat ini tanah itu saya sedekahkan untuk Allah dengan harapan akan mendapatkan
ganjaran kebaikan dari Allah kelak. Maka pergunakanlah sekehendak Anda, wahai
Rasulullah." Dan bersabdalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam,
"Bakh, bakh itu adalah harta yang menguntungkan dan saya telah mendengar
perkataanmu tentang harta itu dan saya sekarang berpendapat sebaiknya engkau
bagi-bagikan tanah itu untuk keluarga kalian."
Abu Thalhah pun menuruti
perintah Rasululah dan membagi-bagikan tanah itu kepada sanak familinya dan
anak keturunan pamannya. Tak berapa lama Alah memuliakan seorang anak laki-laki
kepada pasangan berbahagia itu dan diberi nama Abu Umair. Suatu kali burung
kesayangan Abu Umair mati sehingga Abu Umair menangis dengan sedih. Saat itu
lewatlah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam di hadapannya. Melihat
kesedihan Abu Umair, Rasulullah segera menghibur dan bertanya, "Wahai Abu
Umair apa gerangan yang diperbuat oleh burung kecil?"
Namun takdir Allah memang tak
mampu diduga. Allah subhanahu wa ta’ala kembali ingin menguji kesabaran
pasangan sabar ini. Tiba-tiba saja, bocah mungil mereka Abu Umair jatuh sakit
sehingga ayah dan ibunya dibuat cemas dan repot. Padahal ia adalah putra
kesayangan Abu Thalhah. Jika ia pulang dari pasar, yang pertama kali ditanyakan
adalah kesehatan dan keadaan putranya dan ia belum mereasa tenang bila belum
melihatnya. Tepat pada waktu sholat, Abu Thalhah pergi ke masjid. Tak lama
setelah kepergiannya, putranya Abu Umair menghembuskan nafas terakhir.
Ummu Sulaim memang seorang ibu
mukminah yang sabar. Ia menerima peristiwa itu dengan sabar dan tenang. Ummu
Sulaim lantas menidurkan putranya di atas kasur dan berujar berulang-ulang,
"Innaa lillahi wa inna ilaihi rrji’un." Dengan suara berbisik ia
berkata kepada sanak keluarganya, "Jangan sekali-kali kalian
memberitahukan perihal putranya pada Abu Thalhah sampai aku sendiri yang
memberitahunya." Sekembalinya Abu Thalhah, alhamdulillah, air mata
kesayangan Ummu Sulaim telah mongering. Ia menyambut kedatangan suaminya dan
siap menjawab pertanyaannya. "Bagaimana keadaan putraku sekarang?" "Dia
lebih tenang dari biasanya." Jawab Ummu Sulaim dengan wajar. Abu Thalhah
merasa begitu letih hingga tak ada keinginan menengok putranya. Namun hatinya
turut berbunga-bunga mengira putranya dalam keadaan sehat wal afiat. Ummu
Sulaim pun menjamu suaminya dengan hidangan yang istimewa dan berdandan serta
berhias dengan wangi-wangian, membuat Abu Thalhah tertarik dan mengajaknya
tidur bersama.
Setelah suaminya terlelap,
Ummu Sulaim memuji kepada Allah karena berhasil menentramkan suaminya perihal
putranya, karena ia menyadari Abu Thalhah telah mengalami keletihan seharian,
sehingga ia amembiarkan suaminya tertidur pulas. Menjelang subuh, baru Ummu
Sulaim berbicara pada suaminya, seraya bertanya, "Wahai Abu Thalhah apa
pendapatmu bila ada sekelompok orang meminjamkan barang kepada tetangganya
lantas ia meminta kembali haknya. Pantaskan jika si peminjam enggan
mengembalikannya?"
"Tidak," jawab Abu Thalhah.
"Bagaimana jika si peminjam enggan mengembalikannya setelah
menggunakannya?" "Wah, mereka benar-benar tidak waras," Abu
Thalhah menukas.
"Demikian pula putramu. Allah meminjamkannya
pada kita dan pemiliknya telah mengambilnya kembali. Relakanlah ia," kata
Ummu Sulaim dengan tenang. Pada mulanya Abu Thalhah marah dan membentak,
"Kenapa baru sekarang kau beritahu, dan membiarkan aku hingga aku ternoda
(berhadats karena berhubungan suami istri)?" Dengan rasa tabah Ummu Sulaim
tak henti-henti mengingatkan suaminya hingga ia kembali istirja dan memuji
Allah dengan hati yang tenang.
Pagi-pagi buta sebelum cahaya matahari kelihatan
penuh, Abu Thalhah menjumpai Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam dan
menceritakan kejadian itu. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam pun
bersabda, "Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberikan barakah pada malam
pengantin kalian berdua."
Benar saja Ummu Sulaim lantas mengandung lagi dan
melahirkan seorang anak yang diberi nama Abdullah bin Thalhah oleh Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wa sallam. Dan subhanallah barakahnya ternyata tak hanya
sampai di situ. Abdullah kelak di kemudian hari memiliki tujuh orang putra yang
semuanya hafizhul Qur’an. Keutamaan Ummu Sulaim tidak hanya itu, Allah
subhanahu wa ta’ala juga pernah menurunkan ayat untuk pasangan suami istri itu
dikarenakan suatu peristiwa. Sampau Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam
menggembirakannya dengan janji surga dalam sabdanya
"Aku memasuki surga dan aku mendengar
jalannya seseorang. Lantas aku bertanya "Siapakah ini?" Penghuni
surga spontan menjawab "Ini adalah Rumaisha binti Milhan, ibnu Anas bin
Malik."
-subhanallah wa bihamdi subhanallahil adzim