Diperjalanan petang kemarin saat terhenti
di lampu merah. Diseberang motor terdengar dua sosok lelaki tengah saling
berbincang.
Lelaki pemegang setir motor
berkata dengan nada agak tinggi, "udah, nanti sholat dulu baru
makan."
Sang lelaki dibelakangnya
menjawab perlahan dan agak samar terdengar. Perbincangan singkat yang kami 'tak
sengaja' dengar itupun berlanjut.
Lelaki pemegang setir kembali
berkata, "Malem minggu kamu ngeband, minggunya kamu mau PPI, nah gimana
kamu bisa ngatur waktu ? gimana sama badanmu ?".
Bukan dengan nada mengatur, tapi
kami berdua faham bahwa si lelaki pertama berusaha memberi pemahaman secara
halus kepada si lelaki kedua.
Kalimat terakhir yang kami dengar
membuat kami berdua melirik ke sebelah untuk sekedar tau siapa mereka. Tak salah
duga, ternyata perbincangan singkat itu adalah perbincangan seorang ayah dengan
anak lelakinya.
Begitulah ayah seharusnya..
Kesimpulan saya dari perbincangan
singkat keduanya, bahwa sang bapak mengerti betul watak dan sifat anaknya. Bukan
dengan memaksakan kehendak dan harapannya. Namun cukup jelas terlihat dari
percakapan tadi bahwa sang bapak sedang menasehati si anak untuk bisa mengatur
waktunya, dengan banyak kegiatannya dan menyeimbangkannya dengan kemampuan
tubuh si anak. Nasehat yang perlahan dan tanpa paksaan tentu akan lebih legowo
diterima oleh si anak tadi.
Memoar petang tadi membuat saya
ingin membahas tentang hal ini, tentang orang tua sebagai madrasah pertama anak
dalam keluarga. Saat ini pendidikan formal dan non formal di Indonesia cukup
tersoroti banyak pihak. Hal ini disebabkan banyaknya kasus yang ter-expose dari dunia pendidikan, mulai
dari jenjang pra-sekolahh dasar, dasar, menengah dan atas. Pun pada jenjang
perguruan tinggi. Pendidikan terkuat tentu terjalin dalam pendidikan di
keluarga. hal ini disebabkan keluarga merupakan wadah pertama anak tumbuh dan
berkembang. Seperti apa sikap dan perilakunya tentu tercermin dari bagaimana
sikap dan perilaku kedua orang tuanya.
buah jatuh tak
jauh dari pohonnya--
Pepatah itu sering kita dengar
bukan ?
Buah yang jatuh tak jatuh dari
pohonnya ini memiliki makna bahwasannya anak merupakan cerminan kedua orang tuanya.
Baik dari segi fisik maupun nonfisik. Dari segi fisik secara alami warna
rambut, bentuk wajah, warna kulit dan lain sebagainya diturunkan melalui penyatuan
dna-dna bapak dan ibunya. Sedangkan untuk ciri non fisik seperti perilaku, tata
bahasa, kebiasaan dan lain sebagainya diturunkan dari kedua orang tuanya
melalui pendidikan karakter dengan keteladanan. Anak kecil cenderung meniru apa
yang mereka lihat. Dengan keterbatasan pola pikir dan nalar, serta rasa ingin
tahu yang besar si anak akan banyak sedikit meniru apa yang dilakukan oleh
kedua orang tuanya. Hal ini perlu diingat bahwasannya orang tua harus lebih
berhati-hati dalam bertindak, pengawasan terhadap apa yang menjadi konsumsi
tontonan mereka juga penting hukumnya untuk dibersamai dan diawasi karena hal
ini juga memberi efek terhadap tumbuh kembang dari si anak, terlebih pada segi non-fisiknya.
Ini masih nyambung sama yang tadi
lo..
Bahwa orang tua memiliki porsi
yang besar dalam hal mendidik anak. Dari perbincangan tadi jelas terlihat bahwa
ada keterbukaan dari kedua pihak. Sang anak mau mengkomunikasikan agendanya
kepada bapaknya. Tak banyak anak yang berani melakukan hal ini, entah karena
takut dibatasi geraknya atau karena hal lain. Sang bapak juga menasehati si
anak dengan halus dan perlahan, karena jelas beliau faham betul karakter remaja
dimana jika dilarang maka si anak akan memberontak. Namun dengan terjalinnya
kedekatan semacam ini, sang bapak bisa dengan lebih mudah memberikan pemahaman
kepada si anak, dan penerimaan si anak juga akan lebih baik. Ia menjadi nyaman
beraktifitas karena ada kedua orang tuanya yang mendukungnya. Meski apa yang ia
inginkan tak semuanya ia bisa lakukan, namun dengan mengkomunikasikannya dengan
sang bapak tentu akan membuatnya lebih bijak dalam memanajemen waktu dan
dirinya.
Begitulah ayah seharusnya..
No comments:
Post a Comment