Translate

Thursday, October 2, 2014

Sang Nabi

Nabi besar Muhammad SAW, Rasulullah SAW, habibullah. Manusia terpilih oleh Allah. Siapa yang tak kenal beliau? siapa yang tak mengidolakan beliau? Pada postingan kali ini saya akan mengutip kisah tentang perjalanan hidup Manusia Mulia ini. Semoga bermanfaat J

Betapa sejak beliau masih bayi sampai menjelang dewasa, hidupnya penuh dengan hikmah dan pencapaian luar biasa. Kita akan terperangah mengetahui betapa Allah SWT menyiapkan dengan sempurna tahapan-tahapan kehidupannya yang begitu memikat, sebagai persiapan beliau sebelum diangkat menjadi utusan dan pemimpin ummat.

Namanya Muhammad bin Abdullah. Ia adalah keturunan Ismail bin Ibrahim, dua utusan Allah yang membangun tempat suci di Makkah, Ka’bah. Ibunya bernama Aminah binti Wahab. Beliau adalah jawaban atas do’a Nabi Ibrahim  yang berharap agar keturunannya juga diutus sebagai nabi dan rasul.

Sewaktu masih di dalam kandung, beliau sudah ditinggal wafat oleh ayahnya. Tak lama setelah lahir ke dunia, beliau dititipkan kepada Halimah As-Sa’diyah, seorang wanita pedalaman, untuk disusui. Sudah menjadi tradisi di kalangan masyarakat Arab saat itu menitipkan anak mereka kepada para pengasuh yang berasal dari pedalaman. Tujuannya adalah untuk mendekatkan mereka dengan alam dan untuk memperkenalkan budaya masyarakat Arab yang murni, terutama dalam hal bahasa, sejak mereka berusia dini.

Saat berusia empat tahun, saat belum mengerti banyak tentang kehidupan, ia dihampiri dua malaikat yang berniat untuk membersihkan hatinya. Saat itulah terjadi peristiwa besar dalam hidupnya. Dua malaikat itu membelah dada Muhammad kecil dan mencuci hatinya. Peristiwa itu merupakan pengalaman spiritual yang sangat berarti pada masa awal-awal kehidupan Muhammad. Mendengar laporan anak susuannya yang lain tentang peristiwa tersebut, halimah cemas dengan keselamatan Muhammad dan mengembalikannya kepada ibunya.

Saat berusia enam tahun, tak lama setelah beliau kembali berkumpul dengan keluarganya, ibunda Muhammad meninggal. Beliau kemudian diasuh oleh sang kakek, Abdul Muthallib. Abdul Muthallib sangat menyayangi Muhammad kecil. Beliau adalah satu-satunya cucu yang diizinkan sang kakek untuk duduk diatas karpet kehormatannya di dekat Ka’bah.

“Biarkan ia duduk diatas karpet itu. Demi Allah, anakku ini akan mengukir sejarah.”

Malang tak dapat dihindari. Di usianya yang baru menginjak delapan tahun, Abdul Muthallib meninggal. Abu Thalib, paman beliau dari pihak ayah, kemudian mengambil alih peran untuk mengasuh beliau. Seperti halnya nabi-nabi yang lain, di usia ini, beliau sudah dipercaya masyarakat sekitarnya untuk menggembala kambing. Salah satu majikan beliau adalah Ibnu Abi Mu’ith, yang memberi imbalan untuk beliau segenggam kurma atas jasanya menggembalakan kambing-kambingnya. Lembah dan gunung-gunung batu disekitar Makkah adalah saksi ketelatenan dan kesabaran serta kasih sayang beliau kepada binatang-binatang ternak yang beliau gembalakan. Beliau perhatikan mana diantara kambing-kambing itu yang sakit, tidak mau makan, atau tertinggal dari kawanannya.

Pada saat berusia 12 tahun, beliau membantu pamannya berniaga ke Suriah. Bersama kafilah dagang yang membawa barang-barang berharga dari Makkah, beliau merasakan pengalaman yang baru kali itu beliau alami. Kasih sayang dan rasa empatinya yang besar yang mendorong beliau untuk berani mengambil resiko menempuh perjalanan yang jauh itu demi membantu kondisi ekonomi pamannya yang miskin. Dalam kurun 13 tahun sejak pengalaman pertama itu, beliau telah melakukan 18 kali perjalanan ke luar negeri dan membawa keuntungan yang luar biasa besar.

Usia 15 tahun adalah saat pertama kali beliau mengikuti peperangan membela sukunya. Perang itu dikenal dengan perang Fijjar, yang berlangsung sekita  lima tahun. Pengalaman mengikuti peperangan tersebut memberikan kesan yang amat kuat bagi Muhammad. Takdirnya sebagai salah satu anggota salah satu suku Arab membuatnya sadar terhadap segala ancaman yang mungkin membahayakannya. Keikutsertaannya dalam perang itu membuat mental dan keberanian Muhammad semakin terasah.

Pengalaman lain yang tak kalah mengesankan terjadi saat beliau berusia 20 tahun. Untuk menghindari pertumpahan darah antara suku-suku Arab di Makkah, para pemuka suku-suku itu sepakat membuat perjanjian. Beliau adalah salah satu orang yang terlibat dalam pembuatan perjanjian itu, yang kemudian dikenal denga perjanjian Hiful Fudhul. Ini adalah pengalaman diplomatik yang luar biasa pada masa itu bagi pemuda seusia Muhammad. Usianya memang masih muda, namun ia sudah terkenal karena keluhuran sikap dan kecerdasannya.

Lima tahun kemudian, berbekal pengalaman berdagangnya di Suriah dan daerah-daerah lain disekitarnya, Muhammad dipercaya untuk menjalankan perusahaan dagang multinasional milik Khadijah binti Khuwailid, seorang janda kaya raya yang sangat disegani. Khadijah tidak salah orang. Di tangan Muhammad sayap bisnisnya semakin melebar dan keuntungan yang diperoleh juga semakin besar.

Hubungan antara Khadijah dan Muhammad berlangsung baik. Dan, hubungan itu tidak terhenti sekedar hubungan profesional. Kejujuran yang jarang ditemui Khadijah dikalangan bangsa Arab saat itu, keuletan berbisnis yang sangat matang, nasab yang sangat mulia baik dari pihak ayah maupun ibu, ditambah ketampanan dan kharisma yang tiada banding ada di dalam diri Muhammad. Khadijah pun tak dapat memungkiri bisikan hatinya. Ia jatuh hati kepada pekerjanya itu. Ia pun memutuskan untuk melamar Muhammad.

Muhammad hidup bahagia bersama Khadijah dan anak-anaknya. Selain dikenal baik, ia juga dipercaya masyarakatnya untuk memutuskan berbagai masalah. Pengaruhnya semakin meluas mengingat ia berasal dari keluarga terpandang dan berpengalaman dalam menangani permasalahan kaumnya. Wanita, harta dan tahta kini ada di geggamannya. Namun, semua itu tidak melunturkan budi pekertinya. Ia tak menikah lagi, sesuatu yang biasa dilakukan dalam budaya Arab saat itu, dan beliau tetap hidup sederhana.

Mendekati usia 40 tahun, beliau sering pergi ke gua yang ada di gunung-gunung batu di sekitar Makkah. Di tempat sepi itu beliau memandang kotanya dari kejauhan, merenungkan masyarakatnya yang semakin lama semakin lupa dengan sang Penguasa semesta. Puncaknya terjadi saat beliau genap berusia 40 tahun. Saat itu, masyarakat Arab sudah sering mendengar tentang Jibril, sesosok makhluk ghaib yang menemui manusia-manusia untu menyampaikan firman Tuhan. Tapi, Muhammad tak pernah menyangka bahwa dirinya adalah salah satu dari manusia-manusia pilihan itu dan beliaulah sebagai manusia terakhir yang menerima pesan-pesan suci itu.

“bacalah!” ujar Jibril. Muhammad bingung, “Aku tak dapat membaca,” jawabnya.
“bacalah!” Jibril mengulangi perintahnya hingga dua kali. Muhammad pun hanya bisa mengulangi jawabannya.

“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Dialah yang menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Mulia.” Jibril menyampaikan wahyu pertama untuk manusia pilihan itu. Sejak saat itulah, lelaki yang tak pernah mendapat sentuhan kasih sayang seorang ayah dan tak lama merasakan kehangatan cinta sang ibu itu diangkat sebagai rasul, sang penyampai kabar gembira dan pemberi peringatan.

Dialah Muhammad SAW, sang utusan Allah. Desah nafasnya adalah kasih sayang yang tak terhingga untuk kita. Denyut nadinya adalah harapan yang membuncah agar kita menapaki jalan yang telah ditunjukkannya. Sabdanya adalah cahaya yang menerang malam-malam kita. Akhlaknya adalah teladan yang mengantarkan kita menuju pintu kebahagiaan.
Tidakkah hatimu tergerak untuk mengikuti jalannya ?

Dikutip dari : Open Your Heart, Follow Your Prophet, karya @teladanrasul

Selamat Hari Batik Nasional :)

No comments:

Post a Comment