Betapa sejak beliau masih bayi sampai menjelang dewasa,
hidupnya penuh dengan hikmah dan pencapaian luar biasa. Kita akan terperangah
mengetahui betapa Allah SWT menyiapkan dengan sempurna tahapan-tahapan
kehidupannya yang begitu memikat, sebagai persiapan beliau sebelum diangkat
menjadi utusan dan pemimpin ummat.
Namanya Muhammad bin Abdullah. Ia adalah keturunan Ismail
bin Ibrahim, dua utusan Allah yang membangun tempat suci di Makkah, Ka’bah.
Ibunya bernama Aminah binti Wahab. Beliau adalah jawaban atas do’a Nabi
Ibrahim yang berharap agar keturunannya
juga diutus sebagai nabi dan rasul.
Sewaktu masih di dalam kandung, beliau sudah ditinggal wafat
oleh ayahnya. Tak lama setelah lahir ke dunia, beliau dititipkan kepada Halimah
As-Sa’diyah, seorang wanita pedalaman, untuk disusui. Sudah menjadi tradisi di
kalangan masyarakat Arab saat itu menitipkan anak mereka kepada para pengasuh
yang berasal dari pedalaman. Tujuannya adalah untuk mendekatkan mereka dengan
alam dan untuk memperkenalkan budaya masyarakat Arab yang murni, terutama dalam
hal bahasa, sejak mereka berusia dini.
Saat berusia empat tahun, saat belum mengerti banyak tentang
kehidupan, ia dihampiri dua malaikat yang berniat untuk membersihkan hatinya.
Saat itulah terjadi peristiwa besar dalam hidupnya. Dua malaikat itu membelah
dada Muhammad kecil dan mencuci hatinya. Peristiwa itu merupakan pengalaman
spiritual yang sangat berarti pada masa awal-awal kehidupan Muhammad. Mendengar
laporan anak susuannya yang lain tentang peristiwa tersebut, halimah cemas
dengan keselamatan Muhammad dan mengembalikannya kepada ibunya.
Saat berusia enam tahun, tak lama setelah beliau kembali
berkumpul dengan keluarganya, ibunda Muhammad meninggal. Beliau kemudian diasuh
oleh sang kakek, Abdul Muthallib. Abdul Muthallib sangat menyayangi Muhammad
kecil. Beliau adalah satu-satunya cucu yang diizinkan sang kakek untuk duduk
diatas karpet kehormatannya di dekat Ka’bah.
“Biarkan ia duduk diatas karpet itu. Demi Allah, anakku ini
akan mengukir sejarah.”
Malang tak dapat dihindari. Di usianya yang baru menginjak
delapan tahun, Abdul Muthallib meninggal. Abu Thalib, paman beliau dari pihak
ayah, kemudian mengambil alih peran untuk mengasuh beliau. Seperti halnya
nabi-nabi yang lain, di usia ini, beliau sudah dipercaya masyarakat sekitarnya
untuk menggembala kambing. Salah satu majikan beliau adalah Ibnu Abi Mu’ith,
yang memberi imbalan untuk beliau segenggam kurma atas jasanya menggembalakan
kambing-kambingnya. Lembah dan gunung-gunung batu disekitar Makkah adalah saksi
ketelatenan dan kesabaran serta kasih sayang beliau kepada binatang-binatang
ternak yang beliau gembalakan. Beliau perhatikan mana diantara kambing-kambing
itu yang sakit, tidak mau makan, atau tertinggal dari kawanannya.
Pada saat berusia 12 tahun, beliau membantu pamannya
berniaga ke Suriah. Bersama kafilah dagang yang membawa barang-barang berharga
dari Makkah, beliau merasakan pengalaman yang baru kali itu beliau alami. Kasih
sayang dan rasa empatinya yang besar yang mendorong beliau untuk berani mengambil
resiko menempuh perjalanan yang jauh itu demi membantu kondisi ekonomi pamannya
yang miskin. Dalam kurun 13 tahun sejak pengalaman pertama itu, beliau telah
melakukan 18 kali perjalanan ke luar negeri dan membawa keuntungan yang luar
biasa besar.
Usia 15 tahun adalah saat pertama kali beliau mengikuti
peperangan membela sukunya. Perang itu dikenal dengan perang Fijjar, yang
berlangsung sekita lima tahun.
Pengalaman mengikuti peperangan tersebut memberikan kesan yang amat kuat bagi
Muhammad. Takdirnya sebagai salah satu anggota salah satu suku Arab membuatnya
sadar terhadap segala ancaman yang mungkin membahayakannya. Keikutsertaannya
dalam perang itu membuat mental dan keberanian Muhammad semakin terasah.
Pengalaman lain yang tak kalah mengesankan terjadi saat
beliau berusia 20 tahun. Untuk menghindari pertumpahan darah antara suku-suku
Arab di Makkah, para pemuka suku-suku itu sepakat membuat perjanjian. Beliau
adalah salah satu orang yang terlibat dalam pembuatan perjanjian itu, yang
kemudian dikenal denga perjanjian Hiful Fudhul. Ini adalah pengalaman
diplomatik yang luar biasa pada masa itu bagi pemuda seusia Muhammad. Usianya
memang masih muda, namun ia sudah terkenal karena keluhuran sikap dan
kecerdasannya.
Lima tahun kemudian, berbekal pengalaman berdagangnya di
Suriah dan daerah-daerah lain disekitarnya, Muhammad dipercaya untuk
menjalankan perusahaan dagang multinasional milik Khadijah binti Khuwailid,
seorang janda kaya raya yang sangat disegani. Khadijah tidak salah orang. Di
tangan Muhammad sayap bisnisnya semakin melebar dan keuntungan yang diperoleh
juga semakin besar.
Hubungan antara Khadijah dan Muhammad berlangsung baik. Dan,
hubungan itu tidak terhenti sekedar hubungan profesional. Kejujuran yang jarang
ditemui Khadijah dikalangan bangsa Arab saat itu, keuletan berbisnis yang
sangat matang, nasab yang sangat mulia baik dari pihak ayah maupun ibu,
ditambah ketampanan dan kharisma yang tiada banding ada di dalam diri Muhammad.
Khadijah pun tak dapat memungkiri bisikan hatinya. Ia jatuh hati kepada
pekerjanya itu. Ia pun memutuskan untuk melamar Muhammad.
Muhammad hidup bahagia bersama Khadijah dan anak-anaknya. Selain
dikenal baik, ia juga dipercaya masyarakatnya untuk memutuskan berbagai
masalah. Pengaruhnya semakin meluas mengingat ia berasal dari keluarga
terpandang dan berpengalaman dalam menangani permasalahan kaumnya. Wanita,
harta dan tahta kini ada di geggamannya. Namun, semua itu tidak melunturkan
budi pekertinya. Ia tak menikah lagi, sesuatu yang biasa dilakukan dalam budaya
Arab saat itu, dan beliau tetap hidup sederhana.
Mendekati usia 40 tahun, beliau sering pergi ke gua yang ada
di gunung-gunung batu di sekitar Makkah. Di tempat sepi itu beliau memandang
kotanya dari kejauhan, merenungkan masyarakatnya yang semakin lama semakin lupa
dengan sang Penguasa semesta. Puncaknya terjadi saat beliau genap berusia 40
tahun. Saat itu, masyarakat Arab sudah sering mendengar tentang Jibril, sesosok
makhluk ghaib yang menemui manusia-manusia untu menyampaikan firman Tuhan. Tapi,
Muhammad tak pernah menyangka bahwa dirinya adalah salah satu dari
manusia-manusia pilihan itu dan beliaulah sebagai manusia terakhir yang
menerima pesan-pesan suci itu.
“bacalah!” ujar Jibril. Muhammad bingung, “Aku tak dapat
membaca,” jawabnya.
“bacalah!” Jibril mengulangi perintahnya hingga dua kali. Muhammad
pun hanya bisa mengulangi jawabannya.
“Bacalah dengan nama
Tuhanmu yang telah menciptakan. Dialah yang menciptakan manusia dari segumpal
darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Mulia.” Jibril menyampaikan wahyu
pertama untuk manusia pilihan itu. Sejak saat itulah, lelaki yang tak pernah
mendapat sentuhan kasih sayang seorang ayah dan tak lama merasakan kehangatan
cinta sang ibu itu diangkat sebagai rasul, sang penyampai kabar gembira dan
pemberi peringatan.
Dialah Muhammad SAW, sang utusan Allah. Desah nafasnya
adalah kasih sayang yang tak terhingga untuk kita. Denyut nadinya adalah
harapan yang membuncah agar kita menapaki jalan yang telah ditunjukkannya. Sabdanya
adalah cahaya yang menerang malam-malam kita. Akhlaknya adalah teladan yang
mengantarkan kita menuju pintu kebahagiaan.
Tidakkah hatimu tergerak untuk mengikuti jalannya ?
Dikutip dari : Open Your Heart, Follow Your Prophet, karya
@teladanrasul
No comments:
Post a Comment